saya galau kalo lagi haid. . banyak yang bilang kalo lagi haid tuh ga boleh potong rambut, terus kalo rontok rambunya harus dikumpulin. . begitu jg dengan potong kuku. .
kan ribet tuh. . jorok juga. .
agak bimbang, secara kan ada hadis yang bilang "Kebersihan merupakan sebagian dari iman" lah kalo ngumpulin rambut bukannya tambah kotor/ga bersih? :(
jadi aku coba searching2 di google buat nyari ke shahih an pendapat tersebut. . cekidot. . ..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada syariat mengumpulkan rambut yang rontok saat wanita dalam masa Haid.
Mengumpulkan rambut yang rontok, atau dicukur, atau dicabut termasuk mengumpulkan kuku yang dipotong atau yang semisal pada saat wanita sedang Haid adalah ketentuan yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 474)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي
فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ
فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا
أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau
menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga
beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi.
Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya:
“Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada
beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang
Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara’ dengan Manthiq (logika), bukan Istinbath (penggalian hukum) Nash apa adanya. Hukum Syara’ tidak boleh ditetapkan dengan Manthiq, tetapi harus ditetapkan dengan Istinbath yang Syar’i.
Lagipula, Nash menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan seperti rambut dan daging tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan sendiri seperti memandikan badan yang Junub. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 139)
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ
أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ
شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ
شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ ».
Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia
pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata;
Saya masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
kepadanya: “Buanglah rambut kafirmu”. Maksudnya beliau bersabda:
“Cukurlah”. Dan perawi lain telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya:
“Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah (H.R.Abu Dawud)“.Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang baru masuk Islam diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukur rambutnya dan berkhitan. Mencukur rambut bermakna memisahkan sebagian rambut dari tubuh. Berkhitan bermakna memisahkan sebagian daging dari tubuh. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang baru masuk islam untuk mencukur rambut dan berkhitan sebelum mandi besar menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan tidak dihukumi Junub sehingga harus dimandikan dulu sebelum terpisah dari tubuh. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan oleh orang yang terkena Janabah tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan tersendiri.
Yang lebih menguatkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Aisyah untuk bersisir padahal dalam kondisi Haid. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (2/ 24)
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ
أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ
يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى
دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ
عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ
وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ
الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي
مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ
Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah berkata, “Aku bertalbiyah (memulai
haji) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji Wada’.
Dan aku adalah di antara orang yang melaksanakannya dengan cara Tamattu’
namun tidak membawa hewan sembelihan.” Aisyah menyadari bahwa dirinya
mengalami Haid dan belum bersuci hingga tiba malam ‘Arafah. Maka ‘Aisyah
berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini adalah malam ‘Arafah sedangkan
aku melaksanakan Tamattu’ dengan Umrah lebih dahulu?” Maka bersabdalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Urai dan sisirlah rambut kepalamu,
lalu tahanlah Umrahmu.” Aku lalu laksanakan hal itu. Setelah aku
menyelesaikan haji, beliau memerintahkan ‘Abdurrahman pada malam Hashbah
(Malam di Muzdalifah) untuk melakukan Umrah buatku dari Tan’im, tempat
dimana aku mulai melakukan Manasikku.”(H.R.Bukhari)Wanita yang bersisir secara alami akan membuat sebagian rambutnya rontok. Seandainya mengumpulkan rambut saat Haid dengan maksud disucikan tersendiri disyariatkan, niscaya nabi akan mengajarkan hal tersebut kepada aisyah. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyinggung sama sekali masalah pengumpulan rambut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada syariat pengumpulan rambut, atau kuku, atau daging yang terpisah dari badan saat orang dalam keadaan Junub seperti sedang hadis atau setelah berhubungan suami istri.
Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin;
إحياء علوم الدين (2/ 51)
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من
نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا ويقال إن
كل شعرة تطالبه بجنابتها
“Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu
kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam
keadaan Junub, karena seluruh anggota tubuh akan dikembalikan di
akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub. Konon, setiap satu
rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu” (Ihya Ulumuddin, vol.2
hlm 51) Maka keyakinan ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya. Ibnu ‘Utsaimin dalam “Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi” berpendapat bahwa larangan bersisir saat Haid, atau memotong kuku hanya dinyatakan dalam kitab-kitab Ahli Bid’ah seperti Muhammad Yusuf Al-Ibadhy dalam kitabnya “Syarhu An-Nail Wa Syifa’-u Al-‘Alil”. Wallahua’lam.